Minggu, 16 Oktober 2011

Surat Tengah Malam


Bangka, 16-10-2011
Surat Tengah Malam
Hal: Rumah itu
Assalamualaikum,
KEPADA KERABAT JUGA KEPONAKAN (YANG MENOPANG RUMAH ITU)
Salam rindu dan cinta kasih
Begitulah rindu telah memercik asa kita. Berkumpul demi satu tujuan. Berpisah pun demi tujuan masing-masing. Namun, keadaan yang memaksa perpisahan kita. Aku harus terbang meninggalkanmu. Apapun keadaanmu disana, aku hanya bisa mendengar dan berdoa. Membantu semampunya. Demi kebaikan kita bersama, hidup telah memuliakan kita.
Aku menjalani ritual hidupku yang telah terberi oleh nasib. Malam sebelumnya yang kita kecap begitu indah. Kini, tak sama lagi dengan malam-malam yang saat ini aku rasa. Begitulah perjalanan hidup. Empat lahir Dua hidup. Empat datang dua pergi. Siapakah yang masih bertahan? Siapakah yang terus tumbuh dan besar?
Aku tak bisa melepas ataupun menjagamu sepenuhnya. Banyak coretan yang tertinggal di dinding rumah itu. Ada peluh yang telah mengucur, darah yang bergejolak dan airmata yang menetes di wajah kita. Apa bisanya aku? Hanya bisa berharap pada kerabat dan keponakan untuk menopang rumah kita. Aku dan kami harus mengikhlaskan rumah itu untuk kalian jaga. Apabila sewaktu-waktu aku, dia dan mereka bisa berkunjung ke rumah itu untuk sekedar melepas penat dan kerinduan pada keramah-tamahan kalian sebagai tuan rumah. Aku, kamu dan mereka adalah tamu dan juga sekaligus tuan rumah. Semoga kamu masih tetap ada beserta rumah itu.
Rumah itu ada dan telah ada.(Mungkin akan terus ada). Memang harus tetap ada kalau aku, engkau ataupun mereka masih menginginkan dia ada. Seandainya ia telah roboh karena zaman yang melindasnya ataupun engkau telah membiarkannya dalam ketakberdayaan, biarkanlah dia menjadi puing-puing. Kami akan tetap mengenangnya diantara reruntuhan zaman yang pongah. Lalu, aku beserta dia, kamu dan juga mereka akan mencatatnya dalam sejarah panggung kemanusiaan. Namun, aku akan tetap berusaha mengumpulkan puing-puingnya dan memanfaatkan dari reruntuhan yang masih bisa diberdayakan. Untuk membangun monumen di dalam jiwa bahwa rumah itu masih berdiri kokoh di dadaku.
Dalam ketakberdayaan karena dihantui masa lalu yang gemilang, janganlah kalian merasa minder ataupun rendah diri karena itu akan melukai perasaan kami. Begitulah kami yang terdahulu merasa bersalah sebab tak mampu meregenerasi kalian dengan baik dan sungguh-sungguh. Jadi, manfaatkanlah apa yang bisa yang kalian perbuat dari rumah itu. Paling tidak kalian masih bisa berteduh dari hujan badai dan panas yang menyengat. Pikirkanlah saat ini dan esok lukisan apa yang akan kalian coretkan di dinding rumah itu. Jangan terlalu berharap pada mereka yang telah terkubur rindu di pusara tua ataupun pada mereka yang berdiri angkuh di menara gading itu. Yang telah mati tak mungkin berbicara nyata. Yang berdiri angkuh takkan mungkin mengajarimu secara sungguh-sungguh. Belajarlah dari alam kehidupan untuk terus mengolah daya tahan dan juang hidup. Sekalipun rumah itu roboh dan hancur, bangun kembali di dalam jiwamu. Sesuatu yang tumbuh di jiwa takkan mudah runtuh oleh hujan badai ataupun gempa tsunami.
Your faithfully,
Uncle Era

Tidak ada komentar: